Skip to main content

Anak Adalah Keajaiban Dunia

Anak Adalah Keajaiban Dunia - Seorang teman di TDA Bekasi tiba-tiba meminta tolong untuk membantu mengarahkan seorang anak dari partner bisnisnya yang dianggap aneh, urakan dan semaunya sendiri. Padahal orangtuanya menyadari bahwa anak ini mempunyai kepandaian yang jarang dimiliki oleh anak-anak lainnya. Sebutlah saja namanya Evan. Evan ini anak yang boleh dibilang anak yang superduper aneh, pemalas yang tidak mau sekolah dan seperti tidak ada cita-cita besar dalam hidupnya. Hingga dalam keluarganya sendiri, Evan pun dikucilkan. Ibunya sadar akan potensi anaknya, namun tidak tahu harus kemana dan bagaimana untuk mengarahkannya. Maka Evan pun semakin aneh hingga usianya yang sudah menginjak 30 tahun, usia dimana seharusnya (menurut khalayak umum) sudah mapan bekerja bahkan sudah menikah.

Kalimat pertama yang saya ucapkan ke teman TDA tersebut adalah, jangan-jangan yang aneh orang tuanya?

Pertanyaan itu akhirnya terjawab setelah saya ketemu langsung dan ngobrol bareng Evan. Kami ngobrol panjang dengan becanda gurau seperti teman lama yang baru ketemu lagi bertahun-tahun. Dengan rambut gondrongnya dia mencandai saya, kenapa rambutmu jadi pendek? Terus saya jawab, soalnya kamu udah panjang dan aku malas dianggap kembaranmu. Selama satu jam kami bertukar pikiran tentang dunianya. Disitu saya tahu, Evan mempunyai ketrampilan menggambar yang diatas rata-rata anak lain. Kemampuannya mengolah pensil sangat mengagumkan hingga dengan percaya diri dia menamai dirinya sendiri sebagai Tangan Tuhan (GodHand). Disini sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya Evan sangat menyadari kemampuannya. Dia tahu betul kemana arah dirinya sendiri. Terbukti ketika SD dulu dia sempat menjadi pemenang lomba gambar di RCTI dan hadiahnya dikirim ke Las Vegas.

Namun seiring perjalanan hidupnya, dia menjadi (tampak) tidak tertarik lagi dengan dunia indahnya. Ini terjadi setelah mulai muncul “penolakan” terhadap kesenangannya menggambar. Dalam kelasnya, Evan lebih suka menggambar dan kecintaannya dalam menggambar membuatnya asyik dalam dunianya sendiri. Sayang beribu sayang, guru-guru disekolahnya menganggap tingkah laku Evan yang suka menggambar dan meninggalkan pelajaran lain dianggap sebagai pembangkangan atau kenakalan. Hingga sampai pada titik resisten yang tinggi, Evan memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Karena Evan merasa dipaksa untuk belajar semua pelajaran, sementara pelajaran yang bisa dia tangkap hanya sedikit, tidak semuanya.

Kemudian resistensi dari keluarganya pun mulai muncul, terutama dari ayah dan saudara kandungnya. Dari ceritanya, dapat saya tangkap kalau Evan kebingungan mengekspresikan dirinya. Karena bagi keluarganya, menjadi Dokter, Pegawai Bank, Karyawan Swasta atau pekerjaan kantoran lainnya adalah sebuah pencapaian tertinggi. Ijazah atau titel adalah gelar kehormatan yang seakan menjadi syarat mutlak untuk berhasil. Keluarganya tidak menyadari bahwa Evan mempunyai kepandaian diatas rata-rata terhadap ilmu simbol. Dan di dunia ini, orang yang mempunyai kepandaian simbol diatas rata-rata sangatlah jarang. Salah satunya sebut saja Maestro Affandi dan Master Leonardo Da Vinci. Evan hanya ingin mempelajari apa yang dia suka, tidak mau banyak-banyak mengenyam ilmu lain. Dan ini sangatlah tidak disadari oleh lingkungannya. Lingkungannya cenderung memaksakan dia menjadi sesuai keinginan mereka. Kepandaian Evan sangat alamiah dan sangat sayang akhirnya harus tereduksi oleh keinginan orangtuanya.

Jadi jawaban dari yang saya tanyakan ke teman TDA tersebut adalah, orangtua dan lingkungannya yang sebenarnya aneh.

Banyak sekali terjadi anak-anak menjadi korban keinginan orangtuanya. Dan banyak keinginan anak-anaknya yang tidak tercapai karena keinginan orangtuanya. Bahkan terkadang, anak menjadi korban obsesi orangtuanya yang tidak menjadi kenyataan saat mereka masih muda. Contoh, karena ibu atau bapaknya dulu ingin menjadi dokter dan akhirnya tidak bisa maka anaknya yang (tanpa sadar) diarahkan sedikit demi sedikit untuk jadi dokter atau bahkan mencetaknya menjadi dokter. Sementara sang anak belum tentu punya keinginan itu. Begitu juga ketika ibu atau ayah “memaksakan” anaknya untuk belajar bisnis, sementara belum tentu anaknya mempunyai keinginan untuk itu.

Sebagai orang tua, kita harus bisa menempatkan diri dengan baik. Lepaskan hutang budi yang kita punya terhadap anak kita. Kenapa saya bilang hutang budi? Karena seringkali orang tua mengatakan apa saja yang sudah dilakukan untuk anaknya, sehingga dengan tanpa sadar menuntut balas budi dari anak. Padahal kita tahu, bahwa hubungan kita terhadap anak adalah kewajiban, bukan bisnis. Dan ini sama juga dengan hubungan kita terhadap Tuhan. Hubungan kita dengan Tuhan adalah kewajiban, bukan bisnis.

Terhadap anak-anak kita, pahami keinginan dan bakat mereka. Biarkan mereka belajar mengenal kehidupan dengan intuisinya, sebagai orang tua kita wajib mengontrolnya namun tidak dengan memaksa atau menjadikannya seperti kita. Let them grow and big and bigger to be biggest for them selves.

Anak seperti Evan adalah keajaiban dunia, mutiara dunia yang sengaja diturunkan Tuhan sebagai pembelajaran bagi banyak orang.

Salam belajar.
Newest Post
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar